Obat TBC Paru dan Efek Samping

Prinsip pengobatan
Regimen pengobatan terdiri dari fase awal (intensif) selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 4-6 bulan.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negative dalam waktu 2 bulan.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan. Pada pasien dengan sputum BTA positif ada resiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko resistensi selektif. Pada pasien dengan sputum BTA negatif atau TB ekstrapulmoner tidak terdapat resiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase awal dengan 2 obat biasanya sudah memadai.
Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 di antara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.
Wanita hamil dan ibu menyusui:
Pengobatan standar dengan INH, rifampisin dan pyrazinamid dapat diberikan pada wanita hamil dan menyusui, dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin tidak boleh diberikan.
Anak-anak:
Anak-anak diberi INH, rifampisin, dan pyrazinamid untuk 2 bulan fase awal dilanjutkan dengan INH dan rifampisin selama 4 bulan. Jika pyrazinamid tidak diberikan selama fase awal, maka pemberian INH dan rifampisin dilanjutkan selama 9 bulan. Untuk anak resiko tinggi infeksi resisten. Etambunol harus termasuk dalam pengobatan 2 bulan fase awal. Akan tetapi diperlukan perhatian khusus pada anak yang kurang dari 6 tahun, karena sulitnya menilai fungsi penglihatan.
Pasien immunocompromised: Pasien terserang kuman TB yang aktif kembali atau infeksi baru. Sering terjadi multi resisten atau infeksi oleh mikrobakterium lain seperti M. Avium. Kultur dan uji kepekaan harus selalu dilakukan. Infeksi M. Tuberkulosis yang peka terhadap obat primer diobati dengan regimen standar selama 6 bulan. Setelah pengobatan, pasien diberi profilaksis jangka panjang dengan INH.
Pantauan hasil terapi
Hasil pengobatan pada pasien BTA positif harus dipantau dengan pemeriksaan sputum. Pemeriksaan dengan cara lain bukan merupakan keharusan. Untuk pasien BTA negative dan TB ekstra paru, hasil pengobatan didasarkan pada pemeriksaan klinis.
Biasanya diperlukan dua kali pemeriksaan ulang sputum.
Pengawasan efek samping
Sebagian besar pasien menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian kecil mengalami efek samping. Oleh karena itu pengawasan klinis terhadap efek samping harus dilakukan. Pemeriksaan laboratorium rutin bukan merupakan keharusan.
Petugas kesehatan dapat  memantau efek samping dengan dua cara. Pertama dengan menerangkan kepada pasien untuk mengenal tanda-tanda efek samping obat dan segera melaporkannya kepada dokter.
Kedua, dengan menanyakan secara khusus kepada pasien tentang gejala yang dialaminya.
Efek samping obat tuberkulostatik dapat dibagi efek samping mayor dan minor (lihat tabel).
Tabel efek samping minor pemberian obat TB
Efek samping Kemungkian penyebab Penanganan
Minor dosis – Teruskan obat, periksa
Anoreksia, mual, sakit perut Rifampisin Berikan obat pada malam hari atau sesudah makanan yang lain
Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin
Rasa panas di kaki INH Piridoksin 100 mg/hari
Urin kemerahan Rifampisin Terangkan pada pasien
Tabel efek samping mayor pemberian obat TB
Efek samping Kemungkinan penyebab Penanganan
Efek samping Mayor – Hentikan pemberian obat penyebab
Gatal-gatal, kemerahan di kulit Tiasetazon Hentikan pemberian obat yang bersangkutan
Ketulian Streptomisin Hentikan streptomisin ganti dengan etambutol
Pusing, vertigo, nistakmus Streptomisin Hentikan streptomisin ganti dengan etambutol
Ikterus (tanpa sebab lain) Berbagai anti TB Hentikan pemberian anti TB
Muntah, bingung (kecurigaan gagal hati) Berbagai anti TB Hentikan obat, segera periksa fungsi hati dan waktu protrombin
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Syok, purpura, gagal ginjal akut Rifampisin Hentikan rifampisin
Jika efek samping minor, maka pengobatan dapat diteruskan dengan dosis biasa atau kadang-kadang dosis perlu diturunkan. Dapat diberikan pengobatan simtomtastik. Jika timbul efek samping mayor harus ditangani pada saat pelayanan khusus.
Obat-obatan anti tuberkulostatik
Isoniazid (INH) merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti rifampisin, INH harus diikutsertakan  dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada kontra-indikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neropati perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang mempermudah seperti diabetes, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini perlu diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis sejak awal pengobatan. Efek samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.
Rifampisin merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan. Sebagaimana halnya INH, rifampisin juga harus selalu diikutkan kecuali bila ada kontra indikasi.
Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan sementara pada fungsi hati (peningkatan transaminase serum), tetapi biasanya tidak memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang terjadi gangguan fungsi hati yang serius yang mengharuskan penggantian obat terutama pada pasien dengan riwayat penyakit hati. Selama fase intermiten (fase lanjutan) dilaporkan adanya 6 gejala toksinitas : influenza, sakit perut, gejala pernafasan, syok, gagal ginjal, purpura trombositopernia, dialami oleh 20-30% pasien. Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat metabolisme obat lain seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea, dan anti-koagulan. Penting : efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu dipilih cara KB yang lain.
Pyrazinamid bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif memlah dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium bovis. Toksifitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.
Etambutol digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15 mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30 mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu.
Efek samping etambutol yang sering terjadi adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal.
Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Pasien yang tidak bisa mengerti perubahan ini sebaiknya tidak diberi etambutol tetapi obat alternative lainnya. Pemberian pada anak-anak harus dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu disaat mereka bisa melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata harus dilakukan sebelum pengobatan.
Streptomisin saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Obat ini diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700 mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg.
Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk pengobatan yang diawasi. Kadar obat dalam plasma harus diukur terutama untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus.
Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC yang disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah kapreomisin, sikloserin, makrolid generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), 4-kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) dan protionamid