Kemiskinan dipandang sebagai aspek sentral

KEMISKINAN KAJIAN ASPEK SOSIAL DAN KERUANGAN

Kemiskinan merupakan salah satu masalah pokok dalam pembangunan di Indonesia. Masalah kemiskinan menjadi isu sentral terutama setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi memuncak pada periode 1997-1998.

Kemiskinan juga merupakan suatu keadaan sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan berbagai keadaan kehidupan. Meskipun kemiskinan yang paling parah terhadap keadaan berkembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di Negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan tuna wisma / gelandangan yang menempati daerah-daerah kumuh (skun area) di pinggiran kota. Kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Standar ini disebut garis kemiskinan, yaitu nilai pengeluaran konsumsi kebutuhan dasar, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar dan bukan makanan yang paling pokok. Kekeliruan yang sering kali adalah kemiskinan didefinisikan hanya sebagai fenomena ekonomi dalam arti rendahnya penghasilan / tidak memiliki mata pencaharian, kompenen alam yang tidak mendukung, misalnya tanah pertanian tidak subur, berkurangnya daerah serapan air serta komponen sosial yang berupa penduduk, tehnologi dan transportasi yang rendah.
Dalam pendekatan tentang keruangan dan perencanaan, bahwa faktor-faktor yang menguasai penyebaran dan bagaimanakah pola tersebut dapat diubah agar penyebaran lebih efisien dan lebih wajar (Bintarto; Surastopo, 1983:12). Analisis keruangan yang harus diperhatikan antara lain penyebaran penggunaan ruang yang telah ada dan penyediaan ruang yang akan digunakan untuk berbagai kegunaan yang dirancang. Pendekatan tersebut memperoleh penguatan dalam GBHN 2000-2004 dan propenas 2001-2004, yaitu kajian kemiskinan dilakukan dengan pendekatan bahwa masyarakat memperoleh ruang utuk menentukan pilihan kegiatan yang paling sesuai bagi kemajuan diri mereka masing-masing. Upaya pembagunann perlu diarahkan pada penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati kehidupan yang lebih baik, dan sekaligus memperluas pilihan yang dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat.

Secara umum kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian : kemiskinan absolute, kemiskinan relatif dan kemiskinan cultural. Kemiskinan absolute apabila seseorang itu hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup minimum : pangan, sandang, kesehatan, papan dan pendidikan. Kemiskinan relatif apabila seseorang itu telah hidup di garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedangkan kemiskinan cultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau kelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantu.

Kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor-faktor : (1) struktural, yaitu kebijakan dan aturan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin; (2) rendahnya kapasitas masyarakat dalam mengelola sumberdaya pembangunan sehingga produktivitas masyarakat tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan kesejahteraan masyarakat; dan (3) faktor geografis, yaitu kondisi alam yang menyebabkan kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat tersebut dengan masyarakat lainnya.

Pada dasarnya penyebab utama kemiskinan di Indonesia dari aspek sosial dan keruanganan adalah: (1) pengaruh faktor pendidikan yang rendah; (2) ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian; (3) ketidakmerataan investasi di sektor industri dan pertanian; (4) alokasi anggaran kredit yang terbatas; (5) terbatasnya kemampuan dalam pengelolaan sumberdaya alam; (6) arus urbanisasi tinggi (mendorong orang desa ke kota); (7) pengelolahan ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional; (8) rendahnya produktifitas dan pertumbuhan modal; (9) tata pemerintahan yang buruk (bad governance) yang umumnya masih berkembang di kalangan masyarakat desa; (11) tidak ada jaminan sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat; dan (12) rendahnya jaminan kesehatan.
Dalam pendekatan-pendekatan geografis, dapat menggunakan pendekatan ekologi (ekosistem) dalam penanggulangan kemiskinan. Sebenarnya kemiskinann dalam suatu wilayah dapat diletakkan berdasarkan klasifikasi tipe ekologi (Bintarto, Surastopo; 1983:19 ). Di Indonesia, hasil pemetaan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat perkotaan dengan aktivitas utama industri dan jasa memiliki skor indeks kemiskinan yang lebih baik dibandingkan dengan tipe masyarakat agro ekosistem lainnya justru memiliki alternatif sumber ekonomi berkenaan dengan potensi sumberdaya alamnya. Padahal kebutuhan hidup masyarakat kota di datangkan dari desa dan daerah sekitarnya. Kenyataannya di Indonesia menunjukkan bahwa potensi agro ekosistem belum dikembangkan secara optimal bagi penanggulangan kemiskinan. Justru masyarakat di perkotaan yang banyak menerima interverensi program-program pembangunan melalui program pembangunan kota seperti infrastruktur prasarana ekonomi dan sosial budaya, banyak menghasilkan reduksi kemiskinan.

Kemiskinan pada dasarnya banyak dihubungkan dengan:
Penyebab individual atau patologis yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari prilaku, pilihan atau dari si miskin;
Penyebab keluarga yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
Penyebab sub budaya (sub cultural) yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain termasuk perang, pemerintah dan ekonomi;
Penyebab stuktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial

Strategi penanggulangan kemiskinan menurut prespektif pekerjaan sosial adalah potensi pertolongan kemanusiaan yang fokus utamanya untuk membantu orang agar dapat membantu dirinya sendiri. Konsep kebarfungsian sosial pada intinya menunjukkan pada kapasitas (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilal bahwa klien adalah subyek pembangunan, bahwa klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien memiliki atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilitasi asset dan sumber-sumber yang ada di sekitar dirinya.

Tanggapan utama terhadap kemiskinan dari kajian aspek sosial keruangan adalah bantuan kemiskinan atau membantu secara langsung kepada orang miskin ini telah menjadikan pendekatan dari masyarakat eropa sejak zaman pertengahan.

Penanggulangan kemiskinan di Indonesia ditinjau dari aspek sosial dan keruangan didasarkan pada :
Program pertumbuhan ekonomi yang cukup mampu mengatasi segala masalah sosial ekonomi bangsa. Selama periode 1976-1996 (20 tahun Repalita II-IV) angka kemiskinan Indonesia turun drastis dari 40% menjadi 11% yang dianggap cukup menjadi pembenaran bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun dalam periode itu adalah faktor penentunya. Maka krisis ekonomi 1997-1998 kembali meningkatkan angka kemiskinan menjadi 24% tahun 1998 dengan mudah dijadikan alasan kuat bahwa memang pertumbuhan ekonomi adalah segala-segalanya.
Program penanggulangan kemiskinan bersasaran (targeted poverty alleviation) paling serius dalam sejarah bangsa Indonesia adalah program Impres Desa Tertinggal (IDT) di sepertiga desa di Indonesia dan program Tahap Kesejahteraan Rakyat (TAKESRA) di dua pertiga desa lainnya. Kedua didasarkan atau inpres 5/1993 dan inpres 3/1996, yang pertama dengan anggaran dari APBN dan yang kedua dari APBN ditambah bantuan konglomerat. Program IDT maupun TAKESRA keduanya dilaksanakan melalui pendekatan kelompok sasaran antara 15-30 kepala keluarga dengan pemberian modal bergulir, yang pertama IDT sebagi hibah dan yang kedua sebagai pinjaman atau kredit.
Oleh sebab itu jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 37,4 juta jiwa, sesungguhnya merupakan komonitas penduduk miskin yangt tidak mampu dalam mencapai tingkat kesejahteraan minimal. Dalam artian kemiskinan sesungguhnya lebih semakin jelas bilamana dilihat dari penglihatan seberapa besar kemampuan seseorang mencapai kesejahteraannya. Batasan kesejahteraan masih banyak diperdebatkan terlalu banyak batasan-batasan kesejahteraan yang tealah di kemukakan para ahli namun secara umum kesejahteraan dapat di artikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan primernya (basic needs) berupa sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi definisi kesejahteraan dapat juga merupakan tingkat aksebilitas seseorang dalam kepemilikan faktor-faktor produksi yang dapat ia manfaatkan dalam suatu proses produksi dan ia memperoleh imbalan bayaran (compentation) dari penggunaan faktor-faktor produksi tersebut. Semakin tinggi seseorang mampu meningkatkan pemakaian faktor-faktor produksi yang ia kuasai maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan yang diraihnya. Demikian pula sebaliknya orang menjadi miskin karena tidak punya akses yang luas dalam memiliki faktor-faktor produksi walaupun faktor produksi itu adalah dirinya sendiri. Kemiskinan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tidak terlepas dimanapun di letakkan.